CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Sabtu, 14 Maret 2009

cerpen kampus

Menunggu dijemeput mimpi...

Dia masih disitu. Tempat itu. Tempat yang selalu menjadi kenangan, kenangan pahit sekaligus membahagiakan. Tapi pahit itu hanya aku yang merasakannya. Tidak dia, bukan untuk dia. Biarkanlah aku yang merasakan ini, rasa ini akan selalu menjadi beban yang mesti ku tanggung, asal kebahagiaan terus menyelimutinya, aku rela. Setiap tanggal tiga belas, tempat ini pasti berkesan untuknya. Telaga biru, ditambah suara kicauan burung, udara yang sejuk semerbak merasuk kedalam tubuh yang lemah lunglai. Suasana yang asri, yang menambah kedamaian dan ketenangan jiwa. Ya... tanggal tiga belas, tanggal yang begitu bersejarah. Untukku dan untuknya. Hari yang menuai kesedihan untukku dan kebahagiaan untuknya. Tanggal yang mengharuskan aku untuk berdusta sepanjang masa. Yang harus ku tanggung sendirian.

Kala itu, tahun 1998. waktu reformasi mulai bangkit dari keterpurukan. Ketika suara rakyat mulai di dengarkan. Aku dan fadli menjadi salah satu mahasiswa yang ikut memperjuangkan reformasi. Yang tidak ingin kalau reformasi hanya sekedar mimpi. Harapan akan perubahan, dan kebangkitan dari krisis ekonomi. Aku, fadli dan teman – teman seperjuangan terus berjuang untuk perubahan itu. Tapi sayang, peristiwa mengerikan itu harus mewarnai perjuangan kami, saat kerusuhan semangkin parah, penjarahan dimana – mana, saat perjuangan akan perubahan berubah menjadi seonggok emosi yang berujung pada tindakan anarkis. Aku dan fadli tidak bisa menghidari semua itu. Fadli menjadi salah satu korban. Aku gagal melindungi sohib ku ini. Fadli tewas dalam peristiwa unjuk rasa itu, duch.... fadli apa yang harus aku katakan padanya.

Kini sudah sepuluh tahun peristiwa itu usai. Ketika reformasi sudah di gulirkan, namun aku belum mendapatkan kebebasan itu. Aku belum menemukan senyum – senyum gembira anak bangsa. Aku masih banyak menemukan wajah masam karena himpitan ekonomi, karena rumah yang sudah ditempati selama beberapa tahun mengalami penggusuran. Memang sudah banyak rakyat yang berani mengeluarkan suara dan pendapat melalui demonstrasi, tapi masih ku temukan diskriminasi dan penyelesaian masalah yang tidak kunjung selesai. Ah.... tapi sekarang bukan itu yang mengganjal hatiku, biarlah reformasi bergulir terus, biarlah masalah politik, ekonomi atau apalah namanya diselesaikan oleh orang yang berwenang di bidangnya. Aku gundah.

.........................

”mustafa... ayo cepetan, kita dah mau deadline nech…” fadli memanggilku.
”iya… bentar – bentar..” aku menyahut.

Aku adalah mahasiswa Universitas Indonesia jurusan tehnik sipil, sedangkan fadli merupakan salah satu mahasiswa dari FISIPOL. Semangatnya untuk melakukan perubahan sangat besar, melebihi aku. Aku salut sama fadli. Kami pun pergi. Aku dan temen – temen seperjuangan berkumpul di bundaran HI, yang merupakan ikon demonstran untuk menyuarakan aspirasinya. Setiba di lokasi, suasana sudah berubah ricuh, penjarahan di mana – mana. Toko – toko besar apalagi kepunyaan etnis tionghoa sudah banyak yang hancur, di bakar, diambil barang – barang yang berharga. Hhemm... aku menghela nafas panjang. Susana sudah benar – benar sudah tidak terkendali lagi, polisi dengan seragam dan tamengnya tidak sanggup lagi untuk membendung pengunjuk rasa maupun para demonstran yang telah menguasai gedung MPR dan DPR yang seharusnya menjadi tempat harapan kebebasan bagi masyarakat. Tanpa ku sadari sekelilingku telah penuh dengan kekacauan, aku dan fadli terjebak di situasi yang sangat sulit. Tiba – tiba aku merasa benturan keras di kepalaku, semuanya menjadi gelap, kepalaku pusing, aku tidak sadarkan diri.


......................

Aku terbaring di rumah sakit. Hal pertama yang aku ingat adalah fadli, dimana fadli ?, aku bertanya dalam hati.
”suster, siapa yang membawa saya kesini?” aku bertanya pada salah seorang suster yang sedang merawatku.
”bapak di bawa oleh salah seorang teman bapak...”
”teman..., siapa ?”
”namanya fadli pak.., ya sudah.. bapak harus istirahat karena luka di kepala bapak belum sepenuhnya sembuh”
Suster itu berlalu dariku.
”alhamdulillah....” aku bersyukur karena fadli baik – baik saja. Aku kembali merebahkan diri, karena kepalaku masih pusing dan sakit sekali akibat benturan benda tumpul akibat peristiwa semalam. Tiga hari aku dirawat di rumah sakit. Yang aku sesalkan kenapa fadli tidak pernah menjengukku di rumah sakit. Apa dia terlalu sibuk sehingga tidak memiliki waktu lagi sekedar menjenguk sahabatnya, atau...... ah... jangan.... aku tidak boleh berfikiran negatif, aku harus optimis kalau semuanya akan baik – baik saja. Aku pulang ke rumah kontrakan tipe 36 yang aku, fadli, irfan dan yosep kontrak sejak kami masuk kuliah. Rumah ini memang penuh dengan kenangan. Tidak jarang kami menghabiskan waktu di rumah ini dengan canda, tawa bahkan tangis yang tidak dapat di bendung lagi. Ehm... anak laki – laki nangis..., mungkin itu statement yang sering terdengar supaya anak laki – laki harus bisa lebih tegar. Tapi bagi kami, menangis bukanlah hal yang aneh lagi, jika ada salah satu diantara kami yang memiliki masalah maka tidak segan – segan untuk bercerita kepada yang lain, dan tidak jarang yang diiringi dengan tangisan. Memang kedengannya agak aneh.

”assalamualaikum...” aku mengawali.
”waalaikumussalam.....’ suara irfan membalas salam ku.
”Álhamdulillah.. udah baikan ?, maaf aku gak bisa jenguk sibuk banget, tapi udah aku doain kok supaya kamu cepetan sembuh..., maklum lah perjuangan kita masih panjang mustafa.....” irfan menambahkan.
”makasih fan, ngomong – ngomong fadli dimana?”
“kamu masuk aja dulu, ntar aku ceritain, kamu kan masih lemes baru pulang dari rumah sakit.. yuk....”

Dari penjelasa mustafa, aku mendapatkan keterangan bahwa mereka juga tidak tau keberadaan fadli dimana, fadli menghilang setelah mengantarkan aku ke rumah sakit. Banyak yang menduga bahwa fadli menjadi salah satu korban dalam kerusuhan kemarin. Tapi kabar itu masih kabur. Belum pasti. Setiap malam aku berdoa untuk keselamatan fadli, sahabat karibku. Aku tidak sanggup membayangkan reaksi dari orang tua fadli terlebih lagi ibunya kalau berita ini sampai ketelinga mereka. Karena aku adalah sahabat fadli yang sangat dipercaya untuk saling menjaga dan berbagi di perantauan jakarta karena kami sama – sama berasal dari desa yang sama di jawa timur. Aku mengenal fadli semenjak kami sekolah SD sampai mengenyam pendidikan kampus yang ternyata bisa membentuk idealisme. Dan pada akhirnya aku dan fadli aktif dalam berbagai organisasi kampus dan luar kampus. Aku masih bingung apa yang harus aku lakukan untuk menutupi hal ini, aku tidak ingin membuat orang tua fadli cemas akan hal ini.
.....................

Kicauan burung memecah lamunanku, sudah hampir tiga jam aku duduk disini, yang menemaniku hanya sepi dan kenangan yang menghantui. Detik demi detik, menit ke menit, jam.. hari... minggu bahkan tahun telah aku lalui sekian lama. Jaman sudah berubah, walaupun kini aku sudah mendapatkan pekerjaan yang sesuai, ya.. paling tidak sudah menghidupiku bertahun – tahun, ada hal yang masih mengganjal dihatiku. Dimana sahabatku, sahabat yang selalu menemaniku, fadli. Aku merendung kesedihan setiap kali melihat bik fatimah, ibunya fadli. Untuk menutupi hal yang menimpa fadli, aku terpaksa berbohong bahwa fadli mendapatkan beasiswa ke luar negeri dan tidak sempat untuk menulis surat, dan setiap bulan fadli akan mengirimkan uang kepada ibunya, terlebih lagi ketika ayah fadli meninggal dunia delapan bulan yang lalu, bik fatimah seperti kehilangan semangat hidupnya. Tapi apalah dayaku, aku tidak sanggup untuk berterus terang, karena kematian fadli memang masih misterius adanya. Untung saja, sekarang bik fatimah ikut dengan ku, sedikit terhibur oleh hadirnya buah hatiku, si cantik reina. Tidak terasa sudah sepuluh tahun peristiwa itu berlalu, dan fadli memang tidak pernah memberikan kabar apapun padaku atau pada ibunya, bik fatimah.

”mustafa.. bibik baru saja bertemu dengan fadli,,, dia ada dirumah sekarang, ayo cepet...” bik fatimah tiba – tiba membuyarkan lamunan akan kenanganku bersama fadli.
”apa.. fadli kembali,..” aku langsung berlari menuju ke rumah untuk menemui fadli.
Kupeluk sahabatku itu erat – erat, rasanya seperti mimpi.............., aku berharap ini semua kenyataan. Tidak hanya mampir di khayalan ku saja. Tiba – tiba aku dikejutkan oleh suara – suara berisik. Seperti suara fadli.....

”pagi mustafa.... bangun jangan tidur terus, sakit bukannya tambah kurus, eh.. jadi tambah gemuk lagi.. Hhakhakhakhak, tapi gak papa dech..” suara fadli membangunkanku.
”fadli.. kamu gak papa kan..?” aku mengawali pembicaraan
”justru kamu yang udah lebih dari dua hari dalam keadaan koma,,, udah baikan..?, aku bawa kabar bagus nech.. Soeharto dah mundur...”
Ku peluk sahabatku itu erat sekali, dan kali ini bukan mimpi........
Terimakasih ya Allah.......
By : rohayati

0 komentar: